Tantiana
Angin dilautan
mendesiskan sebuah keindahan, tarian ombak memecah kesunyian memecah batu
karang, butiran-butiran pasir nan lembut menggelitiki kaki gadis itu.
Gadis kecil
bernama Tantiana itu memainkan kerang-kerang yang baru didapatnya dipinggiran
pantai. “kau indah, sayang aku harus menjualmu” kata Tantiana sedih. Tantiana
berjalan sambil mengayun-ayunkan ember yang penuh dengan kerang-kerang hasil
tangkapannya. Setiap harinya, sepulang sekolah Tantiana selalu pergi ke pantai
untuk membantu orang tuanya mengais rezeki, mencari kerang-kerang. Kerang-kerang itu akan ia jual ditempat
pelelangan dekat rumahnya.
Hari ini
Tantiana sangat bahagia hasil tangkapannya banyak, tak seperti biasanya yang
hanya seperempat ember. “Syukurlah, hari
ini, aku bisa beli buku sekolah” batinnya. Tantiana pulang dengan wajah
berseri-seri. “Aku pulang” katanya sesampai didepan rumahnya. Ia pun melepaskan
alas kakinya dan membuka pinta gubuk yang sudah reot termakan usia. “ibu dan
bapak kemana?” kata Tantiana kebinguan. Dia melihat seisi rumahnya, biasanya
setelah pergi mencari kerang, Ibunya yang menjadi tukang cuci dirumah
tetangganya telah kembali dan bapaknya yang menjadi tukang ojek sudah selesai
bekerja. Tantiana kembali mengelilingi rumahnya, dia berjalan menuju kebun
kecil belakang rumahnya. “Ibuuuuuuuuuuu, baaaaaaaapaaaaaaaaaakkk” teriak
Tantiana histeris. Dilihatnya dua tubuh kaku tak bernyawa, dengan darah
bercucuran disekeliling tubuh itu. Tubuh Tantiana yang kecil seketika lemas tak
berdaya, cucuran air mata menghiasi hari ini dan seterusnya.
Dua tubuh kaku itu kini telah terkubur dalam
damai. Setiap harinya Tantiana pergi ke makam ayah dan ibunya. Setiap
hari pula, ia membersihkan dua makam itu. “Ibu, bapak, siapa yang tega membunuh
kalian, Ibu, bapak, Tantiana kini sendiri. Tantiana berhenti sekolah, karena
tidak memiliki uang. Tantiana hanya bekerja mencari kerang, itu hanya cukup
untuk makan Tantiana saja. Tapi, Tantiana tau walaupun Ibu dan Bapak sudah tiada,
tapi Ibu dan Bapak tetap menjaga Tantiana kan ? Tantiana pasti akan membanggakan kalian
berdua” kata-kata itu selalu ia ucapkan setiap mengunjungi makam kedua orang
tuanya.
Hari-hari
Tantiana semakin buruk, gadis yang menginjak 15 tahun itu kini dilanda sebuah
ujian dari Tuhan. Hari ini, seseorang yang tak dikenalnya, datang dengan
kemarahan. Tak diduga-duga, rumah yang ditempatinya selama 15 tahun itu, milik
seorang wanita gendut tak berperasaan. Dia akan menjual rumah itu dan secara
kasar mengusir Tantiana.
Tantiana
mengambil baju-baju lusuhnya, menaruh ditas kecil, dan pergi meninggalkan rumah
yang telah menjadi sebuah sejarah hidupnya. Tantiana tak tahu harus kemana ia
akan pergi. Ia duduk menyendiri di pinggir pantai yang sudah tak asing lagi
dengannya. Tantiana mengambil sebuah kertas lusuh dari tasnya, walaupun ia tak
tamat SD, ia tetap bisa menulis dan juga membaca karena selama ini Tantiana
tetap belajar, setiap harinya dia meminjam buku di perpustakaan desanya dan
semua buku-buku itu telah habis dibacanya. Tantiana mengambil sebuah pulpen dan
menuliskan sebuah kata singkat..
Hari ini aku seperti ini, suatu saat nanti
aku akan menjadi Tantiana yang berbeda. Tantiana yang tak akan ditindas lagi,
Tantiana yang membanggakan kedua orang tuanya di surga.
Dilipatnya
kertas yang sudah berisi goresan tangannya, dibentuknya sebuah perahu kecil,
dan dilayarkan ketengah lautan. Tantiana melihat kertas itu berlayar dengan
bebasnya.
3 tahun kemudian….
Tantiana
berjalan sempoyongan, tak ada seorangpun yang tahu Tantiana yang dibawah umur
itu bekerja disebuah klub malam Jakarta .
Setahun lalu, Tantiana hijrah ke Jakarta ,
dia bertemu dengan seorang wanita dan menawarkannya sebuah pekerjaan yang tak
seharusnya ia terima. Setiap malam, Tantiana pasti menangis menyesal dengan apa
yang telah ia lakukan, “maafkan aku, Ibu , Bapak” katanya dalam guyuran tangis
berdosa.
Paginya,
Tantiana bersekolah di SMA Mutiara Jakarta .
Selama 2 tahun Tantiana mengejar paket A dan B untuk mendapatkan ijasah. Di
sekolahnya tak ada seorangpun yang mengetahui uang sekolahnya ia dapatkan dari
pekerjaan malamnya tersebut. Teman-temannya memang merasa curiga dengan tingkah
Tantiana yang selalu diantar pulang oleh Om-Om. Akhirnya semua itu terbongkar.
Sahabatnya, Niko, mengikuti mobil hitam berplat B itu. Sampai pada pukul 16.00,
mobil itu berhenti disebuah klub malam Jakarta ,
terlihat sepi. Niko melihat Tantiana masuk bermesraan dengan seorang laki-laki
yang sepertinya sudah berumur 30an. Karena kemarahan melingkupi hati Niko, Niko langsung menghampiri Tantiana
dan langsung menamparnya. Tantiana terkejut melihat kedatangan sahabatnya.
Seketika, Tantiana lari sekencang-kencangnya, namun Niko berhasil
memberhentikan Tantiana, ditariknya tangan Tantiana. “Tantiana, Lo ngapain
kesana? Lo ngapai sama orang tua itu? Lo, ahhh, kenapa Lo Tantiana, gak
nyangka, gue punya temen kayak Lo”. Tantiana melawan kemarahan Niko, “Gue
ngelakuin semuanya, karena gue pingin sekolah, seharusnya karang gue udah
tamat, gue harus ngejar paket, dan gue harus kerja buat ngedapetin uang, hidup
gue gak senang kayak Lo Nik, bapak sama Ibu gue kebunuh gaka ada yang tau
penyebabnya. Selama dua tahun lalu, gue jadi pembantu rumah tangga dan malamnya
gue jadi orang berdosa. Gue tau gue salah, tapi gue, gueee” kata-kata Tantiana
terhenti karena cucuran air mata yang tak bisa dibendungnya. Niko menyesal
memarahi Tantiana, ia memeluk Tantiana erat. “Tan, kenapa gak dari pertama lo
kasi tau ke gue kalau hidup lo tu susah?”. Dalam isaknya Tantiana menyahut,
“Gue malu, Nik”. “iyaa, gue ngerti, maafin gue iyaa. Eh, gue punya solusi. Bapak
gue punya restoran di daerah Kemang. Gue gak pingin sahabat gue, kerja dipenuhi
dengan gelimang dosa. Lo, disana
kerja dari jam 4 sore sampai 9 malam kok, jadi gak terlalu berat. Tenang
aja, gue yang bakal ngomong sama bapak gue“. Niko melepaskan pelukannya,
menghapus air mata Tantiana, “Tantiana, gue ada disamping Lo”. Tantiana
mengangguk berterimakasih.
Hari-hari berikutnya, Tantiana telah berhenti
menjadi seorang pekerja malam. Untuk membiayai hidup dan sekolahnya dia kini
bekerja di restoran milik ayah Niko. Di sekolah, Tantiana kini terkenal akan
kecerdasannya, setiap saat selau dia yang mewakili sekolah untuk mengikuti
lomba-lomba. Hingga saat tamat SMA, Tantiana mendapat nilai yang
tertinggi. “Tantiana, lo mau ngelanjutin sekolah dimana?“ kata Niko. “Gue dapat beasiswa ke Singapore , Nik.”.
“waaaahh, keren Lo. Tan“. “Emang Lo dimana?“. Dengan bangga Niko mengatakan,
“UI, sayanggg“. “Ehhh, enak banget lu manggil gue sayang!!“. Mereka berdua
berkejar-kejaran mengelilingi sekolah.
Sebelum ke Singapore, Tantiana menyempatkan
dirinya untuk mengunjungi desa yang telah lama tak dikunjungi olehnya. Desa
tempat ia dilahirkan, desa kematian Ibu dan Ayahnya, desa penuh kenangan
terburuk baginya.
Sesampainya di desa, Tantiana langsung kemakam Ibu
dan Ayahnya. Namun langkahnya terhenti, Ia melihat seorang laki-laki paruh baya
berbaju dinas menghampirinya dirinya, “Tantiana, apakah kau Tantiana?“ Kata
laki-laki itu mengenali dirinya. “Iyaa“ Sahut sopan Tantiana. “Aku kepala desa
disini, selama beberapa tahun yang lalu, kami staf desa dan juga kepolisian
menyelidiki kasus pembunuhan Ayah dan Ibumu. Saat ini pelaku sudah ditahan dan
dia dikenai hukuman seumur hidup penjara”. Jelas bapak tua itu. “Pak, apa anda bisa mngantarkan saya ke tempat
orang itu ditahan?“ tanya Tantiana. “Ikut bapak”. Tantiana mengikuti langkah
kaki pelah bapak itu, hingga sampai di tempat penahanan orang yang membunuh
orang tuanya. Dilihatnya lekat-lekat, ingatannya kembali melayang, dia teringat
ternyata orang yang membunuh kedua orang tuanya adalah orang yang menjual rumah
yang dulu ditempatinya. “dia melakukan pembunuhan agar ia dapat mengambil surat tanah ayahmu dan
menjualnya. Dia juga memalsukan sertifikat tanah milik ayahmu.” Jelas kepala
desa itu. “sebenarnya siapa dia?” kata Tantiana penasaran. “bibimu” jawab
singkat kepala desa itu. Tantiana tercengang mendengarnya, ternyata orang yang
telah tega membunuh ayah dan ibunya adalah saudara kandung ayahnya atau bibinya
sendiri. Tantiana berusaha melupakan hal itu. Ditinggalkannya bibinya itu,
“maafkan akuuu, aku menyesal Tantiana”. Tantiana tak memerdulikan teriakan isak
bibinya. Ia berlalu tanpa dendam.
Sesampainya di
makam Ibu dan Ayahnya, Tantiana meletakkan seikat buna berwarna-warni. “Ibu,
Bapak, maaf sudah lama Tantiana tidak mengunjungi kalian, Tantiana ingin pamit,
sepertinya Tantiana akan jarang mengunjungi kalian, Tantiana aka pergi ke
Siangpore untuk melanjutkan sekolah Tantiana. Tantiana sekarang sudah bahagia.
Semoga Ibu dan Bapak bahagia juga disana” Tetesan air mata jatuh perlahan dari
mata Tantiana. Setelah mengunjungi makam Ayah dan Ibunya, Tantiana tak langsung
balik ke Jakarta ,
ia mengunjungi pantai yang dulu menjadi tempat keluh kesahnya. Ditulisnya
kembali sebuah surat
seperti saat terakhir ada dipantai itu.
Semuanya terwujud. Terimakasih Tuhan.
Dilepaskannya
kertas yang sudah berbentuk perahu itu, dalam sinar mentari kedamaian, perahu
kertas itu berlalu meninggalkan sebuah kenangan. Dalam sebuah kedamaian dunia,
Tantiana berlalu dengan senyum kebahagiaan. (rin)
0 komentar:
Posting Komentar