CERPEN: Tantiana

Rabu, 14 November 2012

| | |

Tantiana

Angin dilautan mendesiskan sebuah keindahan, tarian ombak memecah kesunyian memecah batu karang, butiran-butiran pasir nan lembut menggelitiki kaki gadis itu.
Gadis kecil bernama Tantiana itu memainkan kerang-kerang yang baru didapatnya dipinggiran pantai. “kau indah, sayang aku harus menjualmu” kata Tantiana sedih. Tantiana berjalan sambil mengayun-ayunkan ember yang penuh dengan kerang-kerang hasil tangkapannya. Setiap harinya, sepulang sekolah Tantiana selalu pergi ke pantai untuk membantu orang tuanya mengais rezeki, mencari kerang-kerang. Kerang-kerang itu akan ia jual ditempat pelelangan dekat rumahnya.
Hari ini Tantiana sangat bahagia hasil tangkapannya banyak, tak seperti biasanya yang hanya seperempat ember.  “Syukurlah, hari ini, aku bisa beli buku sekolah” batinnya. Tantiana pulang dengan wajah berseri-seri. “Aku pulang” katanya sesampai didepan rumahnya. Ia pun melepaskan alas kakinya dan membuka pinta gubuk yang sudah reot termakan usia. “ibu dan bapak kemana?” kata Tantiana kebinguan. Dia melihat seisi rumahnya, biasanya setelah pergi mencari kerang, Ibunya yang menjadi tukang cuci dirumah tetangganya telah kembali dan bapaknya yang menjadi tukang ojek sudah selesai bekerja. Tantiana kembali mengelilingi rumahnya, dia berjalan menuju kebun kecil belakang rumahnya. “Ibuuuuuuuuuuu, baaaaaaaapaaaaaaaaaakkk” teriak Tantiana histeris. Dilihatnya dua tubuh kaku tak bernyawa, dengan darah bercucuran disekeliling tubuh itu. Tubuh Tantiana yang kecil seketika lemas tak berdaya, cucuran air mata menghiasi hari ini dan seterusnya.
Dua tubuh kaku itu kini telah terkubur dalam damai. Setiap harinya Tantiana pergi ke makam ayah dan ibunya. Setiap hari pula, ia membersihkan dua makam itu. “Ibu, bapak, siapa yang tega membunuh kalian, Ibu, bapak, Tantiana kini sendiri. Tantiana berhenti sekolah, karena tidak memiliki uang. Tantiana hanya bekerja mencari kerang, itu hanya cukup untuk makan Tantiana saja. Tapi, Tantiana tau walaupun Ibu dan Bapak sudah tiada, tapi Ibu dan Bapak tetap menjaga Tantiana kan? Tantiana pasti akan membanggakan kalian berdua” kata-kata itu selalu ia ucapkan setiap mengunjungi makam kedua orang tuanya.
Hari-hari Tantiana semakin buruk, gadis yang menginjak 15 tahun itu kini dilanda sebuah ujian dari Tuhan. Hari ini, seseorang yang tak dikenalnya, datang dengan kemarahan. Tak diduga-duga, rumah yang ditempatinya selama 15 tahun itu, milik seorang wanita gendut tak berperasaan. Dia akan menjual rumah itu dan secara kasar mengusir Tantiana.
Tantiana mengambil baju-baju lusuhnya, menaruh ditas kecil, dan pergi meninggalkan rumah yang telah menjadi sebuah sejarah hidupnya. Tantiana tak tahu harus kemana ia akan pergi. Ia duduk menyendiri di pinggir pantai yang sudah tak asing lagi dengannya. Tantiana mengambil sebuah kertas lusuh dari tasnya, walaupun ia tak tamat SD, ia tetap bisa menulis dan juga membaca karena selama ini Tantiana tetap belajar, setiap harinya dia meminjam buku di perpustakaan desanya dan semua buku-buku itu telah habis dibacanya. Tantiana mengambil sebuah pulpen dan menuliskan sebuah kata singkat..
Hari ini aku seperti ini, suatu saat nanti aku akan menjadi Tantiana yang berbeda. Tantiana yang tak akan ditindas lagi, Tantiana yang membanggakan kedua orang tuanya di surga.
Dilipatnya kertas yang sudah berisi goresan tangannya, dibentuknya sebuah perahu kecil, dan dilayarkan ketengah lautan. Tantiana melihat kertas itu berlayar dengan bebasnya.
3 tahun kemudian….
Tantiana berjalan sempoyongan, tak ada seorangpun yang tahu Tantiana yang dibawah umur itu bekerja disebuah klub malam Jakarta. Setahun lalu, Tantiana hijrah ke Jakarta, dia bertemu dengan seorang wanita dan menawarkannya sebuah pekerjaan yang tak seharusnya ia terima. Setiap malam, Tantiana pasti menangis menyesal dengan apa yang telah ia lakukan, “maafkan aku, Ibu , Bapak” katanya dalam guyuran tangis berdosa.
Paginya, Tantiana bersekolah di SMA Mutiara Jakarta. Selama 2 tahun Tantiana mengejar paket A dan B untuk mendapatkan ijasah. Di sekolahnya tak ada seorangpun yang mengetahui uang sekolahnya ia dapatkan dari pekerjaan malamnya tersebut. Teman-temannya memang merasa curiga dengan tingkah Tantiana yang selalu diantar pulang oleh Om-Om. Akhirnya semua itu terbongkar. Sahabatnya, Niko, mengikuti mobil hitam berplat B itu. Sampai pada pukul 16.00, mobil itu berhenti disebuah klub malam Jakarta, terlihat sepi. Niko melihat Tantiana masuk bermesraan dengan seorang laki-laki yang sepertinya sudah berumur 30an. Karena kemarahan melingkupi hati Niko, Niko langsung menghampiri Tantiana dan langsung menamparnya. Tantiana terkejut melihat kedatangan sahabatnya. Seketika, Tantiana lari sekencang-kencangnya, namun Niko berhasil memberhentikan Tantiana, ditariknya tangan Tantiana. “Tantiana, Lo ngapain kesana? Lo ngapai sama orang tua itu? Lo, ahhh, kenapa Lo Tantiana, gak nyangka, gue punya temen kayak Lo”. Tantiana melawan kemarahan Niko, “Gue ngelakuin semuanya, karena gue pingin sekolah, seharusnya karang gue udah tamat, gue harus ngejar paket, dan gue harus kerja buat ngedapetin uang, hidup gue gak senang kayak Lo Nik, bapak sama Ibu gue kebunuh gaka ada yang tau penyebabnya. Selama dua tahun lalu, gue jadi pembantu rumah tangga dan malamnya gue jadi orang berdosa. Gue tau gue salah, tapi gue, gueee” kata-kata Tantiana terhenti karena cucuran air mata yang tak bisa dibendungnya. Niko menyesal memarahi Tantiana, ia memeluk Tantiana erat. “Tan, kenapa gak dari pertama lo kasi tau ke gue kalau hidup lo tu susah?”. Dalam isaknya Tantiana menyahut, “Gue malu, Nik”. “iyaa, gue ngerti, maafin gue iyaa. Eh, gue punya solusi. Bapak gue punya restoran di daerah Kemang. Gue gak pingin sahabat gue, kerja dipenuhi dengan gelimang dosa. Lo, disana kerja dari jam 4 sore sampai 9 malam kok, jadi gak terlalu berat. Tenang aja, gue yang bakal ngomong sama bapak gue“. Niko melepaskan pelukannya, menghapus air mata Tantiana, “Tantiana, gue ada disamping Lo”. Tantiana mengangguk berterimakasih.
Hari-hari berikutnya, Tantiana telah berhenti menjadi seorang pekerja malam. Untuk membiayai hidup dan sekolahnya dia kini bekerja di restoran milik ayah Niko. Di sekolah, Tantiana kini terkenal akan kecerdasannya, setiap saat selau dia yang mewakili sekolah untuk mengikuti lomba-lomba. Hingga saat tamat SMA, Tantiana mendapat nilai yang tertinggi. “Tantiana, lo mau ngelanjutin sekolah dimana?“ kata Niko. “Gue dapat beasiswa ke Singapore , Nik.”. “waaaahh, keren Lo. Tan“. “Emang Lo dimana?“. Dengan bangga Niko mengatakan, “UI, sayanggg“. “Ehhh, enak banget lu manggil gue sayang!!“. Mereka berdua berkejar-kejaran mengelilingi sekolah.
Sebelum ke Singapore, Tantiana menyempatkan dirinya untuk mengunjungi desa yang telah lama tak dikunjungi olehnya. Desa tempat ia dilahirkan, desa kematian Ibu dan Ayahnya, desa penuh kenangan terburuk baginya.
Sesampainya di desa, Tantiana langsung kemakam Ibu dan Ayahnya. Namun langkahnya terhenti, Ia melihat seorang laki-laki paruh baya berbaju dinas menghampirinya dirinya, “Tantiana, apakah kau Tantiana?“ Kata laki-laki itu mengenali dirinya. “Iyaa“ Sahut sopan Tantiana. “Aku kepala desa disini, selama beberapa tahun yang lalu, kami staf desa dan juga kepolisian menyelidiki kasus pembunuhan Ayah dan Ibumu. Saat ini pelaku sudah ditahan dan dia dikenai hukuman seumur hidup penjara”. Jelas bapak tua itu. “Pak, apa anda bisa mngantarkan saya ke tempat orang itu ditahan?“ tanya Tantiana. “Ikut bapak”. Tantiana mengikuti langkah kaki pelah bapak itu, hingga sampai di tempat penahanan orang yang membunuh orang tuanya. Dilihatnya lekat-lekat, ingatannya kembali melayang, dia teringat ternyata orang yang membunuh kedua orang tuanya adalah orang yang menjual rumah yang dulu ditempatinya. “dia melakukan pembunuhan agar ia dapat mengambil surat tanah ayahmu dan menjualnya. Dia juga memalsukan sertifikat tanah milik ayahmu.” Jelas kepala desa itu. “sebenarnya siapa dia?” kata Tantiana penasaran. “bibimu” jawab singkat kepala desa itu. Tantiana tercengang mendengarnya, ternyata orang yang telah tega membunuh ayah dan ibunya adalah saudara kandung ayahnya atau bibinya sendiri. Tantiana berusaha melupakan hal itu. Ditinggalkannya bibinya itu, “maafkan akuuu, aku menyesal Tantiana”. Tantiana tak memerdulikan teriakan isak bibinya. Ia berlalu tanpa dendam.
Sesampainya di makam Ibu dan Ayahnya, Tantiana meletakkan seikat buna berwarna-warni. “Ibu, Bapak, maaf sudah lama Tantiana tidak mengunjungi kalian, Tantiana ingin pamit, sepertinya Tantiana akan jarang mengunjungi kalian, Tantiana aka pergi ke Siangpore untuk melanjutkan sekolah Tantiana. Tantiana sekarang sudah bahagia. Semoga Ibu dan Bapak bahagia juga disana” Tetesan air mata jatuh perlahan dari mata Tantiana. Setelah mengunjungi makam Ayah dan Ibunya, Tantiana tak langsung balik ke Jakarta, ia mengunjungi pantai yang dulu menjadi tempat keluh kesahnya. Ditulisnya kembali sebuah surat seperti saat terakhir ada dipantai itu.
Semuanya terwujud. Terimakasih Tuhan.
Dilepaskannya kertas yang sudah berbentuk perahu itu, dalam sinar mentari kedamaian, perahu kertas itu berlalu meninggalkan sebuah kenangan. Dalam sebuah kedamaian dunia, Tantiana berlalu dengan senyum kebahagiaan. (rin) 

0 komentar:

Posting Komentar