CERPEN: Cinta Pertama

Sabtu, 17 November 2012

| | | 0 komentar

Cinta Pertama

Suasana yang ramai, menghiasi sekolah yang elit dan favorit itu. Ada yang berteriak, melompat-lompat, bahkan samapi ada yang jungkir balik dilapangan basket, setelah mendengar berita yang membuat semua warga sekolah tersenyum bahagia.
Semua anak kelas XII disekolah itu, LULUS 100%, dan yang lebih membanggakan lagi, aku mendapat nilai terbesar disekolah itu. Sebuah pengorbanan yang tidak sia-sia kujalani dari kelas X sampai sekarang.
“Selamat ya”, seorang cowokmengulurkan tangan kepadaku. Mimpi apa aku semalam. Rasanya ini sebuah dongen khayalan. Tapi, ini kenyataan. Kubalas juga dengan mengulurkan tangan dan mengucapkan “Terimakasih”. Jantungku berdetak seperti gendering yang dipukul keras.
“Nasta, selamat ya. Kamu memang hebat“, puji Adit, yang juga memberi selamat padaku. “Thanks Adit“, jawabku. Adit meninggalkanku dengan Marcel. Tamapaknya Marcel ingin berbicara padaku, mungkin dia gugup. Kupancing dia dengan pertanyaan, “Marcel kamu kenapa? Kamu mau menanyakan sesuatu?“ tanyaku. “oh tidak... oh ya, Nasta, kamu... kamu....“ katanya terbata-bata. “Kenapa, ada yang salah denganku?“, tanyaku meyakinkan. “Nasta kamu mau dinner denganku nanti malam?“ tanyanya. “Oh, tuhan... ini benar-benar seperti mimpi. Dia mengajakku dinner“ batinku. Aku menjawab dengan menganggukan kepala. Rasa bahagia menyelimuti hati ini. Dia langsung meninggalkanku. Aku juga ingin mencari sahabat baikku ,Nindy. Aku ingin menyampaikan ini padanya. Kucari dia. Sudah dua kali ku kelilingi sekolah yang besar itu, tapi tidak ketemu juga. Dikelas juga tidak ada, hanya saja seorang diri. Kutany dia keberadaan Nindy. Katanya Nindy sudah pulang. Sayang sekali, tapi bisa kuberitahu dia besok.
Akhirnya aku pulang. Setelah sampai didepan pagar sekolah, mobil marcel berhenti didepanku. “Nasta, ayo naik. Aku antar pulang. Lagipula, rumah kita kan searah.“, tawarnya. “Terimakasih Marcel, aku pulang sendiri saja“ tolakku. “Ayo naik.. kalau nggak mau nanti aku marah lo..“ ajak dia lagi. “Baiklah...“. akhirnya aku naik kemobilnya.
Didalam mobilnya, dia tak banyak bicara. Aku mulai berfikir, sebaiknya aku Tanya sekarang. “Marcel aku mau nanya, pacar kamu yang mana sih?“, tanyaku. “Oh, itu. Ternyata kamu perhatian juga. Sebenarnya pacar aku Cuma atu yaitu Kety. Tapi, karang udah putus. Semua cewek yang deket sama aku hanya teman. Mungkin mereka merasa aku adalah pacarnya.“ Jawabnya sambil membanting stir ke kanan. “oh, gitu“ kataku singkat. “Nasta nanti aku jemput jam 7 ya“. Kata Marcel. Aku hanya menganggukan kepala.
Akhirnya sampai juga didepan rumahku. Aku turun dan mengucapkan terimakasih. Marcel jugameninggalkanku dengan membunyikan bel sebagai jawaban terimakasihku.
Rumah sepi. Mungkin ibu dan ayah keluar. Aku tak menghiraukan, karena begitu bahagianya diriku hari ini. Jam dindingku menunjukkan pukul 1 siang. Aku tak sabar menunggu jam 7. kuputuskan untuk tidur. Tidurku pulas sekali.
Samar, kudengar pintu dan ada yang memnaggilku. Sepertinya itu Ibu. “Masuk bu, pintunya nggak dikunci“, perintahku. “Nasta bangun, sudah jam 5. kamu tidak mandi?“, tanya Ibu. “sebentar Bu. Oh ya Bu, ntar aku ada janji sama teman jam 7“. Kataku memberi tahu Ibu. “Kemana?“ tumben anak Ibu pergi malam minggu“ tanya Ibu meyakinkan. “dinner Bu. Sama Marcel anak ketua yayasan disekolahku.“ Jelasku. “Cieee.. anak Ibu lagi jatuh cinta“ goda Ibu. “Ah Ibu...“
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 18.00. Aku mulai bersiap-siap. Aku mulai dengan merias wajah dulu. Untung saja aku pernah dikasi tahu cara berias sama Ibu. Aku sedikit gugup, karena ini pertama kalinyaaku dandan sendiri dan pergi malam minggu untuk dinner bersama cowok. Kuusapkan pelembab dan menyapukan bedak tipis diwajahku. Lalu, kusapukan juga warna cokelat muda dan coklat tua dipermukaan kelopak mata dan lipatannya. Tak lupa kuberikan merah pipi di pipiku. Dan terakhir lip conditioner dan lipstik tipis berwarna merah muda kecoklatan. Marias wajah sudah selesai. Sekarang tinggal memakai pakaian. Tinggal 30 menit. Kupakai dress berwarna coklat yang panjangnya pas mengenai lututku. Selanjutnya kuambilstandard pump di rak sepatuku. Tak lupa clutch Bag yang berwarna cokelat. Oh ya, rambutku. Aku bingung harus kuapakan. Akhirnya kuminta Ibuku menjalin rambutku ¼. Itu sebagai bando. Dan sisanya kubiarkan terurai. Untung saja rambutku panjang lurus. Poniku kubawa samping kiri. Aku siap…
Marcelpun datang dan menjumputku ke dalam rumah. Setelah Ibu membukakan pintu, Marcel terdiam bisu menatapku dari atas sampai bawah. “ada apa? Ada yang salah dengan penampilanku?”. Tanyaku keheranan. “Tidak, kamu cantik sekali hari ini”, pujinya. Aku hanya bisa tersenyum. Karena sudah waktu, kami pamit sama Ibu dan langsung ketempat tujuan. Tak sampai 20 menit, akhirnya kita sampai disebuah restoran di Jakarta. Kami duduk di meja no 1 dengan 2 kursi dan meja berbentuk lingkaran dengan lilin yang menambah suasana romantis.
Marcel mempersilakanku duduk. “Nasta, kamu benar-benar cantik hari ini. Penampilanmu serba coklat“, pujinya. “Really?“ tanyaku meyakinkan. “Yes“ jawabnya singkat. “Makasi.., iya aku memang suka warna cokelat”, jawabku sambil memesan makanan. Kami memesan sepiring spaghetti dan lemon tea.
10 menit kemudian, datanglah pesanan kami. “Nasta, aku ingin bilang sesuatau sama kamu”, kata Marcel. “Aku juga“ kataku sambil meminum lemon tea. “kalau gitu aku yang duluan ya.... Marcel sebenarnya aku mencintaimu sejak pertama kita bertemu. Aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku selama 3 tahun.“ Jelasku. “Benarkah“ aku juga sadar bahwa aku juga mencintaimu. Nasta, will you be my girlfriend?“ tanyanya sambil memegang tanganku. Tak ragu lagi kuanggukan kepala dan menyunggingkan senyum kepadanya, tanda aku menerimanya.(kurnia) 

CERPEN: Tantiana

Rabu, 14 November 2012

| | | 0 komentar

Tantiana

Angin dilautan mendesiskan sebuah keindahan, tarian ombak memecah kesunyian memecah batu karang, butiran-butiran pasir nan lembut menggelitiki kaki gadis itu.
Gadis kecil bernama Tantiana itu memainkan kerang-kerang yang baru didapatnya dipinggiran pantai. “kau indah, sayang aku harus menjualmu” kata Tantiana sedih. Tantiana berjalan sambil mengayun-ayunkan ember yang penuh dengan kerang-kerang hasil tangkapannya. Setiap harinya, sepulang sekolah Tantiana selalu pergi ke pantai untuk membantu orang tuanya mengais rezeki, mencari kerang-kerang. Kerang-kerang itu akan ia jual ditempat pelelangan dekat rumahnya.
Hari ini Tantiana sangat bahagia hasil tangkapannya banyak, tak seperti biasanya yang hanya seperempat ember.  “Syukurlah, hari ini, aku bisa beli buku sekolah” batinnya. Tantiana pulang dengan wajah berseri-seri. “Aku pulang” katanya sesampai didepan rumahnya. Ia pun melepaskan alas kakinya dan membuka pinta gubuk yang sudah reot termakan usia. “ibu dan bapak kemana?” kata Tantiana kebinguan. Dia melihat seisi rumahnya, biasanya setelah pergi mencari kerang, Ibunya yang menjadi tukang cuci dirumah tetangganya telah kembali dan bapaknya yang menjadi tukang ojek sudah selesai bekerja. Tantiana kembali mengelilingi rumahnya, dia berjalan menuju kebun kecil belakang rumahnya. “Ibuuuuuuuuuuu, baaaaaaaapaaaaaaaaaakkk” teriak Tantiana histeris. Dilihatnya dua tubuh kaku tak bernyawa, dengan darah bercucuran disekeliling tubuh itu. Tubuh Tantiana yang kecil seketika lemas tak berdaya, cucuran air mata menghiasi hari ini dan seterusnya.
Dua tubuh kaku itu kini telah terkubur dalam damai. Setiap harinya Tantiana pergi ke makam ayah dan ibunya. Setiap hari pula, ia membersihkan dua makam itu. “Ibu, bapak, siapa yang tega membunuh kalian, Ibu, bapak, Tantiana kini sendiri. Tantiana berhenti sekolah, karena tidak memiliki uang. Tantiana hanya bekerja mencari kerang, itu hanya cukup untuk makan Tantiana saja. Tapi, Tantiana tau walaupun Ibu dan Bapak sudah tiada, tapi Ibu dan Bapak tetap menjaga Tantiana kan? Tantiana pasti akan membanggakan kalian berdua” kata-kata itu selalu ia ucapkan setiap mengunjungi makam kedua orang tuanya.
Hari-hari Tantiana semakin buruk, gadis yang menginjak 15 tahun itu kini dilanda sebuah ujian dari Tuhan. Hari ini, seseorang yang tak dikenalnya, datang dengan kemarahan. Tak diduga-duga, rumah yang ditempatinya selama 15 tahun itu, milik seorang wanita gendut tak berperasaan. Dia akan menjual rumah itu dan secara kasar mengusir Tantiana.
Tantiana mengambil baju-baju lusuhnya, menaruh ditas kecil, dan pergi meninggalkan rumah yang telah menjadi sebuah sejarah hidupnya. Tantiana tak tahu harus kemana ia akan pergi. Ia duduk menyendiri di pinggir pantai yang sudah tak asing lagi dengannya. Tantiana mengambil sebuah kertas lusuh dari tasnya, walaupun ia tak tamat SD, ia tetap bisa menulis dan juga membaca karena selama ini Tantiana tetap belajar, setiap harinya dia meminjam buku di perpustakaan desanya dan semua buku-buku itu telah habis dibacanya. Tantiana mengambil sebuah pulpen dan menuliskan sebuah kata singkat..
Hari ini aku seperti ini, suatu saat nanti aku akan menjadi Tantiana yang berbeda. Tantiana yang tak akan ditindas lagi, Tantiana yang membanggakan kedua orang tuanya di surga.
Dilipatnya kertas yang sudah berisi goresan tangannya, dibentuknya sebuah perahu kecil, dan dilayarkan ketengah lautan. Tantiana melihat kertas itu berlayar dengan bebasnya.
3 tahun kemudian….
Tantiana berjalan sempoyongan, tak ada seorangpun yang tahu Tantiana yang dibawah umur itu bekerja disebuah klub malam Jakarta. Setahun lalu, Tantiana hijrah ke Jakarta, dia bertemu dengan seorang wanita dan menawarkannya sebuah pekerjaan yang tak seharusnya ia terima. Setiap malam, Tantiana pasti menangis menyesal dengan apa yang telah ia lakukan, “maafkan aku, Ibu , Bapak” katanya dalam guyuran tangis berdosa.
Paginya, Tantiana bersekolah di SMA Mutiara Jakarta. Selama 2 tahun Tantiana mengejar paket A dan B untuk mendapatkan ijasah. Di sekolahnya tak ada seorangpun yang mengetahui uang sekolahnya ia dapatkan dari pekerjaan malamnya tersebut. Teman-temannya memang merasa curiga dengan tingkah Tantiana yang selalu diantar pulang oleh Om-Om. Akhirnya semua itu terbongkar. Sahabatnya, Niko, mengikuti mobil hitam berplat B itu. Sampai pada pukul 16.00, mobil itu berhenti disebuah klub malam Jakarta, terlihat sepi. Niko melihat Tantiana masuk bermesraan dengan seorang laki-laki yang sepertinya sudah berumur 30an. Karena kemarahan melingkupi hati Niko, Niko langsung menghampiri Tantiana dan langsung menamparnya. Tantiana terkejut melihat kedatangan sahabatnya. Seketika, Tantiana lari sekencang-kencangnya, namun Niko berhasil memberhentikan Tantiana, ditariknya tangan Tantiana. “Tantiana, Lo ngapain kesana? Lo ngapai sama orang tua itu? Lo, ahhh, kenapa Lo Tantiana, gak nyangka, gue punya temen kayak Lo”. Tantiana melawan kemarahan Niko, “Gue ngelakuin semuanya, karena gue pingin sekolah, seharusnya karang gue udah tamat, gue harus ngejar paket, dan gue harus kerja buat ngedapetin uang, hidup gue gak senang kayak Lo Nik, bapak sama Ibu gue kebunuh gaka ada yang tau penyebabnya. Selama dua tahun lalu, gue jadi pembantu rumah tangga dan malamnya gue jadi orang berdosa. Gue tau gue salah, tapi gue, gueee” kata-kata Tantiana terhenti karena cucuran air mata yang tak bisa dibendungnya. Niko menyesal memarahi Tantiana, ia memeluk Tantiana erat. “Tan, kenapa gak dari pertama lo kasi tau ke gue kalau hidup lo tu susah?”. Dalam isaknya Tantiana menyahut, “Gue malu, Nik”. “iyaa, gue ngerti, maafin gue iyaa. Eh, gue punya solusi. Bapak gue punya restoran di daerah Kemang. Gue gak pingin sahabat gue, kerja dipenuhi dengan gelimang dosa. Lo, disana kerja dari jam 4 sore sampai 9 malam kok, jadi gak terlalu berat. Tenang aja, gue yang bakal ngomong sama bapak gue“. Niko melepaskan pelukannya, menghapus air mata Tantiana, “Tantiana, gue ada disamping Lo”. Tantiana mengangguk berterimakasih.
Hari-hari berikutnya, Tantiana telah berhenti menjadi seorang pekerja malam. Untuk membiayai hidup dan sekolahnya dia kini bekerja di restoran milik ayah Niko. Di sekolah, Tantiana kini terkenal akan kecerdasannya, setiap saat selau dia yang mewakili sekolah untuk mengikuti lomba-lomba. Hingga saat tamat SMA, Tantiana mendapat nilai yang tertinggi. “Tantiana, lo mau ngelanjutin sekolah dimana?“ kata Niko. “Gue dapat beasiswa ke Singapore , Nik.”. “waaaahh, keren Lo. Tan“. “Emang Lo dimana?“. Dengan bangga Niko mengatakan, “UI, sayanggg“. “Ehhh, enak banget lu manggil gue sayang!!“. Mereka berdua berkejar-kejaran mengelilingi sekolah.
Sebelum ke Singapore, Tantiana menyempatkan dirinya untuk mengunjungi desa yang telah lama tak dikunjungi olehnya. Desa tempat ia dilahirkan, desa kematian Ibu dan Ayahnya, desa penuh kenangan terburuk baginya.
Sesampainya di desa, Tantiana langsung kemakam Ibu dan Ayahnya. Namun langkahnya terhenti, Ia melihat seorang laki-laki paruh baya berbaju dinas menghampirinya dirinya, “Tantiana, apakah kau Tantiana?“ Kata laki-laki itu mengenali dirinya. “Iyaa“ Sahut sopan Tantiana. “Aku kepala desa disini, selama beberapa tahun yang lalu, kami staf desa dan juga kepolisian menyelidiki kasus pembunuhan Ayah dan Ibumu. Saat ini pelaku sudah ditahan dan dia dikenai hukuman seumur hidup penjara”. Jelas bapak tua itu. “Pak, apa anda bisa mngantarkan saya ke tempat orang itu ditahan?“ tanya Tantiana. “Ikut bapak”. Tantiana mengikuti langkah kaki pelah bapak itu, hingga sampai di tempat penahanan orang yang membunuh orang tuanya. Dilihatnya lekat-lekat, ingatannya kembali melayang, dia teringat ternyata orang yang membunuh kedua orang tuanya adalah orang yang menjual rumah yang dulu ditempatinya. “dia melakukan pembunuhan agar ia dapat mengambil surat tanah ayahmu dan menjualnya. Dia juga memalsukan sertifikat tanah milik ayahmu.” Jelas kepala desa itu. “sebenarnya siapa dia?” kata Tantiana penasaran. “bibimu” jawab singkat kepala desa itu. Tantiana tercengang mendengarnya, ternyata orang yang telah tega membunuh ayah dan ibunya adalah saudara kandung ayahnya atau bibinya sendiri. Tantiana berusaha melupakan hal itu. Ditinggalkannya bibinya itu, “maafkan akuuu, aku menyesal Tantiana”. Tantiana tak memerdulikan teriakan isak bibinya. Ia berlalu tanpa dendam.
Sesampainya di makam Ibu dan Ayahnya, Tantiana meletakkan seikat buna berwarna-warni. “Ibu, Bapak, maaf sudah lama Tantiana tidak mengunjungi kalian, Tantiana ingin pamit, sepertinya Tantiana akan jarang mengunjungi kalian, Tantiana aka pergi ke Siangpore untuk melanjutkan sekolah Tantiana. Tantiana sekarang sudah bahagia. Semoga Ibu dan Bapak bahagia juga disana” Tetesan air mata jatuh perlahan dari mata Tantiana. Setelah mengunjungi makam Ayah dan Ibunya, Tantiana tak langsung balik ke Jakarta, ia mengunjungi pantai yang dulu menjadi tempat keluh kesahnya. Ditulisnya kembali sebuah surat seperti saat terakhir ada dipantai itu.
Semuanya terwujud. Terimakasih Tuhan.
Dilepaskannya kertas yang sudah berbentuk perahu itu, dalam sinar mentari kedamaian, perahu kertas itu berlalu meninggalkan sebuah kenangan. Dalam sebuah kedamaian dunia, Tantiana berlalu dengan senyum kebahagiaan. (rin) 

By: Ida Ayu Komang Sartika Dewi

| | | 0 komentar

CERPEN: You are My Friends

| | | 0 komentar

You are My Friends

Kebisingan membuatnya terhempas dari dunia ini. Bising, ramai, banyak orang adalah hal yang sangat Ia benci. Kadek Dwi Karina, nama lengkap gadis Bali berumur 15 tahun yang duduk di kelas IXB, SMP Negeri 1 Seririt. Karin, nama panggilan gadis berambut panjang berkulit khas masyarakat Bali. Tiap harinya, Karina hanya duduk dibangku pojok kanan. Selama ini, Karina tak memiliki satu orangpun teman. Bukan teman-teman semua yang menjauhi Karina, tapi Karina yang menjauhi mereka. ketakutan akan kebisingan membuatnya terus mengasingkan diri dari hal pergaulan.
Semua itu terjadi karena 10 tahun yang lalu. . . . . .
10 tahun lalu...
“Dek Rin, mai malu mlajah jak Kaki. Keajaen je maca, nulis, megending, nah ape deen je tetagian Dek Rin, Kaki ajain. (Dek Rin, sini dulu belajar sama kakek. Kakek bakal ngajarin baca , nulis, nyanyi, iya apa saja yang diinginkan Dek Rin akan kakek ajarin)“. Kakek Putu memanggil Karina, sekejap Karina langsung duduk disamping kakeknya membawa sebuah buku tulis dan pensil ditangannya. “Jani, mlajah megending Ki nah, Karina dot megendi meong-meong. Be suud megending mare Karina nyak mlajah nulis jak maca. (Sekarang, belajar nyanyi Kek iya, Karina pingin nyanyi Meong-Meong (salah satu lagu khas dari daerah Bali, yang sering digunakan untuk bermain anak-anak di Bali). Sehabis nyanyi baru Karina mau belajar tulis sama baca)“. Tanpa sepengetahuan mereka, Ibu Karina, Ayah Karina, dan seluruh keluarga besar Karina riuh mendatangi mereka. Sang Ibu membawa terompet dengan meniup sekencang-kencangnya, sang Ayah membawa sebuah toa untuk mengumumkan jika hari ini adalah hari terspecial untuk Karina, seluruh keluarga Karina bernyanyi “Selamat Ulang Tahun“ dengan kerasnya. Tepat tanggal 8 Januari 2007 menjadi hari terbahagia sekaligus hari terburuk bagi Karina. Tak diduga-duga oleh semua orang yang ada disekitarnya, termasuk si kecil Karina, Kakeknya yang duduk disampingnya telah pingsan tak sadarkan diri. Serentak, semua kegembiraan telah sirna. Cepat-cepat kakeknya telah diantar ke Rumah Sakit terdekat. Karina mengintip kakeknya dengan sedih, Ia tak bisa membendung semua air matanya. “Dok, kenapa ayah saya bias langsung jatuh pingsa?” Ibu Karina menangis menanyakan sebab kakeknya jatuh pingsan dengan mendadak. “Ayah anda, terkena serangan jatung. Karena suatu hal, dia mengalami keterkejutan yang amat tak bisa dia tahankan, hingga akhirnya Ayah anda terserang jantung“ Dokter menjelaskan dengan detail, walaupun Karina masih berumur 5 tahun, tapi, dia mengerti perayaan ulang tahun tadilah yang menyebabkan kakeknya pingsan. Tiitt, tiiit, tiiit, garis hijau diruangan kakeknya terlihat mendatar. Seluruh keluarga besar Karina, terlihat menangis tersedu-sedu. Perasaan Karina bercampur aduk, sedih, marah, semuanya ia tumpahkan dengan diaaaaaaammmmm tanpa kata.
Sejak saat Ia tahu kakeknya meninggal karena sebuah kebisingan, keramaian. Karina, takut akan kebisingan dan keramaian, takut terulang lagi, kematian kakek yang dicintainya. Dia terus menyendiri, tak menghiraukan orang yang disekitarnya, mencari tempat yang sepi, semuanya hampa bagi KARINA.
Kembali ke 2012 (sekarang). . . .
Dalam hatinya, Karina merasa sangat sedih dengan dirinya seperti ini. Dia menginginkan satu hal, mempunyai seorang teman. Tapi, ketakutannya akan keramaian membuat pikiran itu ia tutup kembali.
Kelas terlihat sepi saat jam istirahat, terlihat hanya Karina seorang diri duduk dibangkunya membaca sebuah buku pelajaran. “Hai“, seorang laki-laki berwajah tampan, putih, bisa dikatakan Indolah menghampiri Karina. Karina tertegun melihat wajah tampan laki-laki dihadapannya. “Karina, belajar bareng yuk“ Laki-laki itu kembali tersenyum. Tapi, lagi-lagi Karina hanya terdiam, tak menghiraukan laki-laki itu. Laki-laki itu lalu menyodorkan secarik kertas kepada Karina, awalnya Karina hanya menggelengkan kepala tanda tak mau menerima. Tapi, laki-laki itu lalu menaruh secarik kertas diatas bangkunya dan meninggalkan Karina sendiri lagi. Karina merasa penasaran dengan secarik kertas itu dibacanya “hai, Karina. Aku bingung kenapa kau tak pernah bergaul dengan kami, menyendiri, menjauh dengan keramaian. Apa kami semua pernah jahat denganmu, pernah menyinggung perasaanmu, jika itu benar, aku sebagai perwakilan kelas IXB meminta maaf. DEVA“. Karina, terdiam setelah membaca kertas itu. Pikirannya buyar hilang arah. “Apakah aku harus menghilangkan ketakutanku demi teman-teman yang sama sekali tak pernah aku kenal, apakah mereka akan menerimaku, apakah mereka akan mengerti dengan keadaanku.“
Saat pelajaran berlangsung, Karina melihat disekitarnya. Terlihat Deva, laki-laki yang menghampirinya duduk dengan anak-anak laki bertumbuh tambun berkaca mata. Dilihat sekelilingnya lagi, semua orang tersenyum, tertawa, bahagia tanpa beban. Karina, tertunduk mengakui kalau selama ini dirinyalah yang selalu salah menilai keramaian. “esok hari, aku akan mengubah segalanya”  batin Karina.
“Hai, Karina.” Dua orang laki-laki dan dua orang perempuan berseragam putih biru menghampirinya. Salah satunya Deva. “Karina, apakah kami mempunyai kesalahan?” Deva membuka pembicaraan. Dia melihat mereka berempat, ia hembuskan nafasnya, dan mencoba kembali berbicara setelah 10 tahun ini sangat jarang ia berbicara. “tid…tiii..tidak” Karina terbata-bata mengucapkan hal tersebut. “lalu mengapa kau diam, kalau kau mempunyai masalah cerita saja dengan kami. Sebagai teman, sekaligus sebagai sahabat-sahabatmu, kami siap kok mendengarkan keluh kesahmu” Ewik mengembangkan senyumnya, serentak semua teman dihadapannya tersenyum tanda kalau mereka menginginkan Karina ada disisi mereka. Karina mengembangkan senyumnya, membalas senyuman teman-temannya yang baru. “maafkan aku, aku tak pandai bergaul aku memiliki trauma dengan keramaian, Kakekku meninggal karena keterkejutannya dengan keramaian. Dari situlah aku takut dengan keramaian, taku terulang lagi kejadian seperti itu.“ Karina menjelaskan dengan air mata tak bisa dibendungnya. Deva, Bala, Ditha, Ewik, menenangkan Karina. “Rin, kejadian itu kan sudah lama, kenapa kamu harus terus mengingatnya sebagai sebuah duka. Rin, ingatlah jika kamu terus seperti ini kakekmu gak bakal tenang di surga. Kamu harus mengubah dirimu, kamu harus lebih percaya kalau itu tidak akan pernah terjadi lagi, kalau keramaian tidak akan pernah membuat kamu sengsara, pastinya aku yakin, keramaian akan membuatmu lebih bahagia, karena dibalik keramaian terselip kebahagiaan“. Mereka berempatpun berpelukan bersama, Karina menangis tersedu-sedu sambil terus mengatakan kata maaf. Serempak, Deva, Bala, Ditha, dan Novi berkata “Karina, kami semua mencintaimuJ“. Karina tersenyum dan menghapus air matanya.
Esok harinya.....
“Hai“ Karina tersenyum dan menyapa semua teman dikelasnya. Semua orang tertegun melihat Karina yang berubah. Di depan kelasnya Karina mengatakan “Aku akan menjadi sahabat kalian selamanya. Aku mencintai dan menyayangi kalian semua. Aku mengucapkan terimakasih, karena telah mengubah diriku dalam sekejap, sekali lagi terimakasih aku ucapkan untuk kalian semua“. Semua teman-teman Karinapun serempak bertepuk tangan riuh. Mereka semua (termasuk Karina) tertawa, bahagia bersama.  (rin)

“Sahabat selalu ada untukmu, suka maupun duka. Dirimu tak akan pernah sendiri, karena sahabat selalu disisimu.“ (rin)

PUISI: Sahabat Sejati

| | | 0 komentar

Sahabat Sejati

Engkau sahabat sejatiku
Selalu menemaniku
Dalam suka dan duka yang kurasakan selalu

Kisah-kisahku
Pengalamannku
Perasaanku
Kusampaikan selalu padamu

Engkau sahabat sejatiku
Selalu mendengar ceritaku
Menjadi tempatku mengadu
Dan menyimpan semua rahasiaku

(kurnia)

PUISI: Kenangan Masa Lalu

| | | 0 komentar

Kenangan Masa Lalu

Cinta yang telah kubina
Tak berujung bahagia
Hingga menyisakan luka
Yang masih saja terasa

Kejadian masa lalu
Yang memisahkan cintaku
Hingga tak mampu bersatu
Hingga waktupun berlalu

Setiap saat ku ingat padamu
Wajahmu yang membuatku rindu
Senyumanmu yang menyejukkan hatiku
Yang membuatku rindu akan cintamu

Setiap malam ku berdoa
Agar dirimu bahagia disana
Bahagia untuk selamanya
Ditempat yang disebut surga

(Noviani)

PUISI: Menjadi yang Lebih Baik

| | | 0 komentar

Menjadi yang Lebih Baik


Ku tundukkan kepala
berdoa dalam hening dan sepinya malam
Ku menangis membasahi pipiku
Ku terdiam memikirkan semua kesalahanku
Ku mengembalikan semua yang telah berlalu
Ku terhening dalam gelapnya malam
Ku menangis dalam dinginnya malam
Hatiku basah, hatiku pilu
Setiap ku memikirkan semua yang telah berlalu

Kini kembali kubuka semua album di hatiku
Ku mencoba untuk merapikan kembali
Membuang semua debu
Mengembalikan semua yang suci
Mengukir kebaikan
Ditempat terindah
Ku ingin menjadi yang lebih baik

(rin)

PUISI: Secercah Impian Darimu

| | | 0 komentar

-Secercah Impian Darimu-

Sang surya menampakkan keagungannya
Kau tersenyum
Di balik lusuhnya baju hijau yang menggantung di tubuhmu
Kau jajaki jalanan sempit penuh air penuh api
Walaupun keringat membanjiri hari-harimu
Walaupun darah dan nanah memenuhi kakimu
Kau tetap berjuang untuk secercah impian kami
Guru...
Harta paling berharga kau berikan pada kami
Ilmu yang tulus
Ilmu yang berguna
Kau curahkan untuk secercah impian kami
Demi namamu
Kami kan berjuang untuk menggapai impian kami
Guru...
Terukir abadi namamu di hati kami
(rin)

PUISI: Kesepian

| | | 0 komentar

Kesepian

Hati ini selalu sepi
Tiada yang menemani
Menatap langit  tinggi
Seakan tak bisa berdiri

Hanya sakit yang tersisa
Hanya luka yang tersimpan di hatiku
Tak ada yang bersedia mengobati lukaku
Aku bingung
Kemana kupautkan rindu
Ketika wajahnya muncul dibenakku
(nia)

PUISI: Lembaran Sebuah Kenangan

| | | 0 komentar

Lembaran Sebuah Kenangan

Tapak-tapak kaki itu
Masih menghiasi jalanan penuh kenangan
Mengais butir-butir canda, tawa, tangis, yang lalu
Menerbangkan pikiran
Mengingat masa-masa yang telah lampau

Melodi kisah-kasih kini hanya sebuah kenangan
Kenangan masa lampau
Yang terukirkan tinta hitam di kertas putih nan lusuh

Semua ini kan terjadi pada waktunya
Mengharuskan kita tuk membentangkan sayap perpisahan
Menutup sebuah kisah
Membuka lembaran kenangan yang tak kan terlupakan
(rin)

About Us :)

| | | 0 komentar

Tentang Kami
(ix b spenser 2012)

Hidup memang tak sepenuhnya indah, terkadang merasakan betapa pahitnya fakta dibalik kehidupan.Namun, perjalanan melewati beban-beban ini terus kami lewati tanpa memandang kata menyerah. IXB, kelas yang penuh canda, tawa, tangis, (nano-nano deh^^) menghiasi tapak-tapak perjalanan kami menembus gerbang kesuksesan di masa depan nanti. Terus berkreasi dan berprestasi adalah komitmen utama kami. Berjuang dan belajar tanpa mengenal kata bosan dan lelah. Kami tahu perjuangan untuk meraih impian bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Namun, dengan dua komitmen kami diatas, begitu pula dengan motivasi-motivasi yang timbul dari semangat kami, kami yakin impian yang kami harapkan, impian yang kami dambakan, impian yang kami cita-citakan dapat terwujud. SEMANGAT NINEBEE! ! !

-The Members Of Ninebee 2012-

Kurnia, Eva, Novi, Widiariani, Nisa, Gading, Debby, Ririn, Ryan, Sartika, Widia, Siti, Noviani, Gea, Dhita, Arin, Lukman, Adi, Sumariyani, Radheya, Ely, Ayu, Sadeva, Jordy, Rizky, Bala, Uci, Ria, Sandhya, Ardy, Ebry, Arga.

(IXB)